Rabu, 30 April 2014

With Rain...



Hujan punya cerita tentang kita. Hujan mengerti tentang betapa aku merindukanmu, betapa aku mengharapkanmu kembali ke sampingku. Dan hujan pula yang tahu seberapa besar aku merindukan kisah denganmu.
“Dit, kamu tau Ara mau pindah?” pertanyaan Regi spontan membuatku kaget.
“Nggak lucu tau bercandamu,” kataku.
“Serius Dit, dia mau pindah ke Palembang. Aku aja baru tau dari Rena tadi. Katanya lusa dia berangkat,” Regi mencoba meyakinkanku.
‘Kok dia nggak cerita sama aku yakk?’ Tanyaku pada diri sendiri.
“Thanks ya Gi infonya, aku mau ke rumah Ara dulu,” Aku kemudian bergegas mengayun kencang sepedaku ke salah satu sudut di kompleks perumahan itu. Tujuanku cuman satu, menanyakan kebenaran kepada Ara.
Aku dan Ara sudah kenal dekat sejak kecil. Kemanapun kami selalu bersama. Bisa dibilang kami tak bisa terpisahkan. Dimana ada Ara di situ juga ada aku, begitu pun sebaliknya. Aku tak pernah membiarkan anak-anak kompleks yang nakal itu mengganggu Ara. Aku hanya ingin melindunginya, dimana pun dia berada. Bahkan orang tuaku dan orang tua Ara sangat senang dengan keakraban kami. Ayah dan Ibu Ara selalu mempercayai keselamatan anaknya padaku. Saat mereka sedang dinas ke luar kota, Ara selalu menginap di rumahku. Ibuku pun senang dengan kehadiran Ara di hidup kami. Maklumlah, selama ini dia mendambakan anak perempuan. Setelah ada Ara, ibuku selalu menganggap bahwa dia adalah bagian dari keluarga kami, sebagai adikku tentunya.
“Araa,” panggilku sembari menyandarkan sepedaku di tembok rumahnya.
Aku langsung masuk ke rumah tanpa permisi. Yaa, ini sudah seperti rumah keduaku. Orang tua Ara juga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri, terlebih setelah ayahku meninggal, ayah Aralah yang menggantikan sosok ayahku.
“Kenapa Dit?” kudengar suara dari belakang rumahnya. Kualihkan tujuanku ke taman di belakang rumah Ara.
“Jelasin, apa yang kamu sembunyiin dari aku?” tanpa basa-basi aku langsung bertanya padanya.
“Sembunyiin apa sih Dit? Aku nggak sembunyiin apa-apa,” terlihat ekspresi Ara mulai berubah.
“Kamu mau pindah kan? Iya kan? Kenapa kamu nggak mau ngomong ke aku sih Ra?”
“Maaf Dit,” Ara menunduk. Perlahan kulihat air mata membasahi wajahnya. “Maaf....”
Aku berjalan menghampirinya. Kunaikkan wajahnya yang masih menunduk. Kuseka airmata yang mengalir di pelupuk matanya. Tak tega aku melihatnya menangis, apalagi untuk melukai perasaannya.
“Maaf, aku udah bikin kamu nangis. Aku cuman nggak mau kamu bohong sama aku,” Ara memelukku. Aku terdiam.
“Maafin aku Dit, aku nggak bermaksud bohongin kamu, aku cuman takut aku nggak bisa ninggalin kamu,”
“Tapi Ra. Aku bakal jauh lebih sedih kalau disaat terakhir sahabatku di samping aku, justru aku nggak ngasih kenangan manis buat dia. Udah yaa, jangan nangis lagi,”
Terlihat awan mendung mulai menyelimuti langit. Titik demi titik air mulai berjatuhan membasahi bumi. Semakin deras. Kuajak Ara untuk memasuki rumah.
“Ujan Ra, masuk yuk,”
“Nggak mau ah Dit, udah lama kita nggak ujan-ujanan. Aku pengen ngelewatin hujan ini bareng kamu. Belum tentu kan kita bisa bareng kayak gini lagi?”
“Yaudah yuk aku temenin,”
Kami berlari menerjang hujan. Bermain-main bersama percikan hujan. Terlihat Ara tertawa tanpa beban, ‘ah aku pasti akan sangat merindukan tawanya,’ gumamku. Yaa, kita sama-sama menyukai hujan. Mencintai setiap titik yang terlahir dari awan mendung.
***
Sebelum matahari mulai menampakan wujudnya, aku telah duduk di halaman rumah Ara. Hari ini saatnya aku dan dia berpisah. Aku tak ingin melewatkan waktu berharga dengan sahabatku.
“Mau kemana kita hari ini?” tanya Ara bersemangat.
“Ke trampolin aja yuk,”
“Okee, ayo kita cabut,” Ara berlari meninggalkanku.
Aku dan Ara duduk di atas trampolin. Kita sama-sama terdiam. Masih dengan lamunan masing-masing. Tiba-tiba suara Ara mengagetkanku.
“Nyanyiin aku lagu dong Dit,”
“Males ah,”
“Tega nih? Ayolah,” bujuk Ara.
“Iya deh, aku ambil gitar dulu ya,”
Aku berlari memasuki rumah. Tak berapa lama aku kembali dengan gitar ditanganku.
Berjanjilah wahai sahabatku
Bila kau tinggalkan aku
Tetaplah tersenyum
Meski hati, sedih dan menangis
Kuingin kau tetap tabah menghadapinya
Terputar kembali kenangan-kenangan indah bersama Ara. Semua kisah sedih dan senang yang kita lewati bersama.
Bila kau harus pergi
Meninggalkan diriku
Jangan lupakan aku...
Semua waktu yang telah kita lewati berdua. Canda dan tawanya. Senyum dan tangisnya. Aku pasti akan sangat merindukannya.
Semoga dirimu di sana
Kan baik-baik saja
Wahai sahabatku
Di sini aku kan selalu
Rindukan dirimu
Wahai sahabatku....
Aku terdiam. Kulihat butir halus muncul perlahan di pelupuk matanya.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku.
“Dit, tetep inget aku yaa,” ucap Ara lirih.
“Pasti lah. Aku bakal tetep inget sama kamu, sahabat sejatiku,”
Kuraih sebuah kotak yang terletak di sampingku. Kuberikan kotak kecil itu untuk Ara.
“Nih, aku ada kenang-kenangan buat kamu, biar kamu inget aku terus,”
“Liontin?” tanya Ara heran, setelah dia membuka hadiahku.
“Iya, ini sepasang. Pasangannya ada di aku. Biar kita yakin kalo suatu saat nanti kita bakal ketemu lagi. Aku pakein ya?” ucapku. Ara mengangguk.
“I will miss you so much Radit,” Ara menunduk sedih.
“Me too Ara. Jaga diri baik-baik yah,”
Diiringi dengan hujan, perpisahan pun tak terelakan. Ara telah pergi meninggalkan aku dan semua tempat kenangan kita.
“Aku pasti bakal balik lagi ke sini, tungguin aku yah..” teriak Ara dari kejauhan. Aku hanya tersenyum. Raganya kini tak lagi bersamaku. Aku dan dia kini telah terpisah.
Awan hitam masih terus muncul, membuat sang bintang tak juga menampakkan sinarnya. Aku masih duduk melamun di trampolinku. Membiarkan hujan mengguyur ragaku.
“Radit ayo masuk nak, mau sampai kapan kamu di sini?” Suara di belakangku mengagetkanku.
“Mah, Radit nggak bisa pisah dari Ara,”
“Udah nak, kalo Tuhan ijinin pasti kalian ketemu lagi. Ayo masuk, kamu udah basah kuyup nih,”
“Iya mah,”
***
3 tahun berlalu. Kini aku duduk di bangku SMA, di salah satu sekolah ternama di kotaku.
Aku tumbuh menjadi pemuda yang cuek. Tak peduli dengan gaya hidupku, aku tetaplah nyaman dengan apa yang ada didiriku. Tak pernah ada yang mengusik hariku, hingga seseorang datang mengubah kehidupan tenangku.
Koridor sekolah nampak lengang, aku masih terus berlari menyusurinya. Jam pertama di kelasku sekarang adalah Matematika, dan aku sukses berangkat terlambat karena semalaman insomniaku kambuh. Semenit saja aku terlambat masuk kelas, habislah kesempatanku mengikuti pelajaran itu, karena sang guru sangat disiplin soal waktu.
Brukk. Seseorang menabrakku. Aku langsung bangkit dan berniat lari menuju kelas, namun terhalang oleh perbuatan orang yang menabrakku itu.
“Seenaknya aja kamu main pergi-pergi. Udah nabrak bukannya minta maaf malah kabur!”
“Brisik loe! Gue lagi telat nih. Salah loe sendiri jalan nggak liat-liat!” bentakku.
“Kamu tuh yang main nabrak-nabrak aja!”
“Minggir loe! Gue udah telat nih!”
“Nggak mau! Minta maaf dulu!”
“Yaudah gue minta maaf, minggir!” Aku langsung lari meninggalkan orang tersebut. Sial! Umpatku dalam hati. Pasti aku tak bisa mengikuti pelajaran pagi ini. Gara-gara ulah orang itu.
Namun dewi fortuna sedang berpihak padaku. Sampai di kelas tak terlihat tanda-tanda guru killer itu berada di kelas. Kulangkahkan kaki menuju bangkuku.
“Kemana aja loe? Jam segini baru nongol. Untung tuh guru belum masuk,” ucap salah seorang temanku.
“Insomnia gue kambuh nih. Mana tadi acara tabrakan sama orang gila lagi!”
“Siapa Dit?” tanyanya lagi.
“Tau tuh. Anak baru kali,”
“Cewek apa cowok?”
“Cewek,”
“Cantik nggak?”
“Kepo banget sih loe!” bentakku kesal.
Sesaat kelas hening, setelah wali kelasku memasuki ruangan. Terlihat di belakangnya seorang gadis yang kutabrak tadi. Sial! Umpatku lagi. ‘Kenapa harus sekelas sama dia sih?’ tanyaku dalam hati.
“Hallo semua. Namaku Tiara Natasya. Aku pindahan dari Palembang, salam kenal,”
Deg. Mendadak aku terdiam setelah gadis itu memperkenalkan diri. Tiara?  Dari Palembang? Ingatanku memutar pada sosok di masa laluku. Sahabat kecilku. Mungkinkah dia?
Hujan mencegahku untuk meninggalkan sekolah. Aku memang sudah tak menyukai hujan semenjak seseorang meninggalkanku saat hujan. Kulihat Tiara bersandar di tembok sambil menengadahkan tangannya. Kuhampiri dia.
“Kamu lagi kamu lagi, males ngeliat!” ucapnya.
“Yee, siapa juga yang seneng ngeliat loe!” gerutuku.
“Yaudah sana pergi!”
“Loe aja sana! Gue ogah! Lagi ujan gede gini juga,” Tiara justru langsung berjalan diantara rintik hujan yang turun kian deras. Aku kaget. Nekad benar dia.
***
Sebulan sudah Tiara menjadi siswa baru. Rasa penasaranku tentang Tiara di masa lalu makin memuncak saat aku tak sengaja melihat kalung yang dia pakai.
“Ra, kalungnya bagus,” celetukku.
“Apa sih? Nggak usah cari gara-gara deh,”
“Gue cuman mau nanya loe beli dimana?”
“Ngapain nanya-nanya? Ini tuh nggak bakal bisa loe dapetin dimana pun!” Setelah mengatakan itu, Tiara bergegas meninggalkanku.
“Gue yakin dia pasti Ara,” ucapku.
Hujan terus mengguyur Jakarta seharian ini. Lagi-lagi aku enggan beranjak dari tempatku sampai hujan berhenti.
“Mau sampai kapan loe di sini? Hujan kayak gini pasti bakalan awet,” aku mencari sumber suara itu berasal.
“Tiara? Emm.. Sampai hujannya berhenti lah,” ucapku sambil mengalihkan pandangan ke arah rintik hujan.
“Udah gue bilang kan, hujannya bakalan awet. Mending ujan-ujanan aja sama gue,” ajak Tiara.
“Ogah. Gue males kena air ujan. Lagian kenapa sih loe tiba-tiba baik gitu sama gue?” tanyaku penuh selidik.
“Pede loe! Gue cuman nggak mau aja ngeliat loe lama-lama di sini!” Tiara lagi-lagi berlari menerobos hujan.
“Sebenernya siapa sih dia? Kok tiap gue ngeliat dia gue jadi inget Ara yah?”
***
Kulangkahkan kakiku menuju kantin, rasa lapar ini sudah hampir mencapai puncaknya. Namun, langkahku terhenti saat aku melihat kerumunan siswa di lapangan.
“Ada apa sih? Kok rame gitu?” tanyaku pada salah seorang siswa.
“Ada yang pingsan. Tiara,”
“Tiara?” ulangku tak percaya. Kuterobos kerumunan itu hingga kudapati seseorang yang dimaksud. Yaa, memang Tiara yang pingsan. Spontan aku langsung membawanya ke UKS.
Sejam berlalu. Tiara tak kunjung sadarkan diri. Sesuai saran dokter, usai insiden tadi dia langsung dibawa ke Rumah Sakit. Entah kenapa aku menawarkan diri untuk menunggunya. Seperti ada perasaan yang mengganjal setiap aku melihatnya.
Hujan terus turun dengan derasnya bersamaan dengan Tiara yang mulai sadarkan diri.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku khawatir.
“Kamu?” Tiara nampak bingung.
“Iya aku, Radit. Tadi kamu pingsan di sekolah, terus di bawa ke sini deh. Sebenernya kamu sakit apa sih?”
Beberapa saat Tiara diam. Namun aku tetap menunggu dia memulihkan kondisinya. Kupandangi dia, sampai lagi-lagi aku teringat pada satu sosok di masa laluku itu.
“Dulu aku emang sakit. Gagal ginjal. Tapi sekarang udah nggak kok,”
“Kok bisa?”
“Sebulan yang lalu ada orang tua yang baik banget ngasih ginjal anaknya buat aku. Dan untungnya tubuh aku bisa nerima ginjal itu,”
“Kok bisa ngasih sih?”
“Iyaa. Anaknya sendiri yang bilang, kalo dia meninggal dia mau donorin apa yang ada di tubuhnya buat orang yang ngebutuhin,”
“Berarti yang donorin itu udah meninggal?”
“Yap. Dia sakit nggak taulah apa namanya, aku lupa. Kita sempet satu rumah sakit, dia sendiri yang minta ke orang tuanya buat ngasih ginjalnya ke aku. Oh ya, dia juga dimakamin di Jakarta kok, soalnya dia asli sini,”
“Apa kamu bilang? Dia asli Jakarta?”
“Iya. Emang kenapa?” tanya Tiara bingung.
“Namanya siapa?”
“Sama kayak aku. Tiara, tapi panggilannya Ara,”
“Nggak mungkin. Jangan kamu bilang dia Tiara Azizah?” tanyaku tak percaya.
“Iyah. Kamu kenal?” Tiara tampak bingung.
“Aku...aku...aku sahabatnya,” ucapku terbata-bata.
“Jadi...Kamu Radit yang selama ini Ara ceritain?” tanya Tiara tak percaya.
“Cerita apa?” tanyaku heran.
“Banyaklah. Yang jelas katanya kamu itu berarti banget buat dia,”
Ruangan itu kembali hening. Aku tak percaya, sahabat yang selama ini kunantikan, kutunggu kedatangannya kembali, nyatanya takkan pernah muncul lagi dihadapanku.
Pantas saja setiap aku melihat Tiara bayang-bayang Ara selalu hadir. Ginjal itu, yaa ginjal milik Ara lah yang selalu membuatku melihat Tiara sebagai bayangan Ara.
***
Aku tertunduk lemah, masih memandangi pusara yang mulai kusentuh. Kuraba nisan yang ada di depanku. Kurasakan gundukan tanah yang sedikit basah ini. Di dalam sini, di tempat ini, orang yang sangat berarti dihidupku terlelap.
“Radit,” panggil seseorang di belakangku.
“Tiara?”
“Aku mau ngasih ini buat kamu,” Tiara memberikan sepucuk surat untukku.
Kuraih surat itu, kubaca. Butir-butir airmata mulai mengalir. Tangis yang selama ini tak pernah kuperlihatkan lagi semenjak kepergian Ara 3 tahun yang lalu, kini memecah saat aku membaca kata demi kata yang tertulis di surat itu.
Dear Radit,
Apa kabar? Aku yakin surat ini pasti bakal sampai ke tangan kamu dengan selamat, tanpa ada lecet sedikitpun. Bener kan? :D
Waktu kamu baca surat ini, bisa aku pastiin kalo aku udah nggak ada di sisi kamu lagi. Yaa, sekarang pasti ada Tiara di deket kamu kan? Anggep aja itu aku ya J
Maaf Radit, aku dateng tanpa ragaku bahkan jiwaku, aku dateng cuman dengan surat ini. Hidupku udah berakhir Dit, Tuhan udah manggil aku buat pulang lagi ke sisiNya. Kuatin diri yaa. Maaf aku nggak bisa tepatin janji aku buat bareng lagi sama kamu, tapi sekarang aku bawain Tiara buat kamu. Dia sama kok sama aku, sama-sama Tiara J
Maaf juga ya, aku nggak pernah cerita apa pun tentang penyakitku. Bahkan sampai sekarang pun aku juga nggak mau kamu tau apa yang aku rasain. Yang jelas aku sakit, sakit parah kata dokter. Aku harus terus-terusan kemoteraphy. Selama ini aku diem karena aku nggak mau bikin kamu tambah sedih Dit. Aku pengen kamu ngeliat aku sebagai Ara yang kuat, semangat, dan sehat.
Dari dulu sebenernya ada satu hal yang mau aku omongin sama kamu, yaa tapi nggak pernah bisa aku omongin karena aku sadar aku nggak akan bertahan lama di dunia ini. Aku sayang kamu, lebih dari sayang seorang sahabat. Sekali lagi aku minta maaf, buat semua kebohongan yang aku buat ke kamu.
Titip Tiara ya Dit. Jaga dia seperti kamu jaga aku. Sayangi dia seperti kamu sayangi aku.
Peluk cium, Ara
Tik tik tik. Awan kembali menghitam. Memunculkan kesedihannya kembali. Walau pun awan mulai menangis, aku masih enggan beranjak dari tempat ini. Aku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi.
“Ayolah Radit, sampai kapan kamu di sini? Hujan makin deras nih,”
“Sorry Ra,” aku tersadar. Aku mulai beranjak dari tempat itu. Meninggalkan rumah terakhir Ara.
***
Hujan. Menyimpan banyak cerita tentang kita. Tentang aku, Ara dan Tiara. Hujan yang memisahkanku dengan Ara. Hujan yang pertemukanku dengan Tiara. Hujan yang kembalikan Ara padaku, walau pun tanpa raganya. Hujan pulalah yang satukan aku dengan Tiara.

 “Tuh kan ngelamun lagi!” Tiara setengah berteriak di dekatku.
“Eh iya iya, hehe,”
“Dit Dit liat deh ada pelangi,” Tiara menunjuk ke arah langit.
“Oh iya, bagus ya?”
“Pastinya. Selalu ada pelangi setelah hujan dan selalu ada cerita tentang kita dibalik hujan,”
“Dan aku nggak akan biarin hujan menghapus cinta kita,” ucapku, kemudian mengacak rambut Tiara.
“Rrrraaaddiiiiiittttttt....” teriak Tiara. Aku bangkit dan berlari menjauh dari jangkauan Tiara.
Kini tawalah yang tercipta. Cintalah yang terasa. Terima kasih hujan, karena kau telah hadirkan cinta di hidupku.

Aku tak pernah berharap banyak pada hujan. Yang aku minta hanya jangan sampai hujan pisahkan lagi aku dengan orang yang kusayang. Karena aku ingin menikmati indahnya langit setelah hujan bersama dia yang kucintai.

Kamis, 24 April 2014

SILENT LOVE

Steva yang masih menggunakan seragam putih abu-abunya sedang sibuk membentang-bentangkan semua buku dan tas selempangnya yang basah kuyup diselasar koridor sekolah lantai 3.
“Kurang ajar! Liat aja si Yosua, nanti bakal gue bikin kapok dia!” sungut Steva kesal, Claire sahabat Steva yang sedari tadi membantunya hanya tersenyum simpul.
“Sabar ya Stev. Eh heran yah si Yosua itu, kok cuma lo yang diusilin? Jangan-jangan dia ada rasa kali sama lo?” goda Claire pada Steva
“Heh sialan lo, ogah gue!”
“Hai lady’s lagi sibuk ye? Eh, neng cucian dirumah jangan dijemur disekolahan dong! Masa baju olah raga digantungin gitu kaya bendera?” ledek Yosua yang tiba-tiba saja muncul dan menghampiri mereka dengan gaya sok akrab.
“Eh babon gila! Nggak usah ceramah deh lo, liat nih karya tangan lo, mending numpahin air lah ini susu cokelat!” pekik Steva, sementara Claire menahan tawa
“Haha sorry ye Stev, stok air mineral gue habis jadi susu UHT aja ya? Biar sekalian ninggalin noda ditas, buku dan baju olah raga lo, lumayan buat kenang-kenangan” ujar Yosua disela-sela tawanya “udah ah, selamat menjemur” tambahnya lalu pergi. Steva menatap penuh kesal pada punggung Yosua yang semakin menjauh.
“Liat lo ya, hari ini lo bakal terima balesan dari gue” desis Steva, Claire hanya mengangguk seolah menyetujui ucapan Steva barusan, ia tau pasti ucapan Steva tadi tidaklah main-main “pasti seru” serunya dalam hati.

***

            “Lo kenapa sih Yos, seneng amat ngusilin Steva?” tanya Daniel saat mereka sedang berganti pakaian, sebentar lagi mereka akan masuk ke pelajaran olah raga.
“Nggak kenapa-napa sih, cuma asik aja ngusilin si pendek itu. Kalo marahkan ngamuk terus meledak-ledak deh kaya kompor gas LPG dari pemerintah” jawab Yosua kalem
“Em lo ada feel yah sama Steva?” tuding Daniel sesukanya
“Ngaco! Masa gue suka sama bonsai gagal itu? Eh, selera gue tuh kaya Logan Lerman, Christina Aguilera atau nggak kaya Kate Elizabeth Winslet tuh yang jadi Rosse difilem Titanic”
“Halah sepik aja lo, lagian mana mau tuh artis sama lo!” cibir Daniel
“Eh Niel, baju olah raga gue mana ya?” tanya Yosua sambil mengubik isi tasnya
“Coba cari yang bener, masa nggak ada? Apa jangan-jangan lo lupa bawa kali?” Daniel ikut mencari
“Gak mungkin gue lupa bawa, wong pas istirahat aja masih ada kok” ucap Yosua dengan pasrah, seketika satu suara teriakan membahana masuk kedalam ruang ganti, suara yang sudah akrab dan tak asing lagi buat kuping-kuping kedua cowok ini
“YOSUA! YOSUA! Kaos olah raga lo nyangsung tuh diring basket, berkibar-kibar ketiup angin kaya bendera Hinomaru!” jeritan nyaring khas Claudio menyadarkan Yosua, seketika Yosua tersentak kaget dan dengan cepat ia berlari keluar menuju lapangan basket, sesampainya disana Pak.Fras dan seisi warga 11.IPA-2 sedang menatap konsen pada kaos putih bernoda merah yang berkibar diring basket. Sekarang Yosua mengerti apa maksud dari bendera Hinomaru, dikaos putih polosnya terlukis satu lingkaran merah besar.
“Ciee ciee, ada tentara Jepang nyasar nih” sahut Steva dari kejauhan, Yosua menoleh kesumber suara, otomatis amarahnyapun terpancing
“Argh! Sial, fanta! Stevaa!” bentak Yosua dan si empunya nama hanya tersenyum dari kejauhan. Baru saja Yosua ingin menghujaninya dengan makian, tapi Pak.Fras sudah keburu menahannya dan tak salah lagi Yosua dihukum 20 kali lari keliling lapangan, awalnya Yosua ingin mengajukan protes tapi ketika dilihatnya mata Pak.Fras yang melotot seram niat itupun diurungkannya. “Haahh..haahh..haah...” nafas Yosua terpenggal-penggal. Hanya satu kata saja yang dapat ia teriakan: CAPEK!, disampingnya Daniel hanya tertawa kecil melihat raut melas dari wajah Yosua. Ketika pemanasan usai, beberapa anak kompak berbaris menunggu giliran untuk pengambilan nilai basket. Dari pinggir lapangan Yosua melihat sesosok Steva yang sedang tertawa terbahak, melihat tingkah gadis itu yang masih bisa tertawa geli, amarah Yosuapun bangkit kembali, dihampirinyalah gadis itu lalu ditariknyalah kunciran yang menempel dikepala Steva, seketika rambut Steva berkibar tertiup angin. Segera Steva bangkit berdiri dan mengejar Yosua, dilemparkannyalah sepatu fantovelnya kearah Yosua dan dengan senang hati Yosua menangkapnya, lalu kembali Yosua lemparkan sepatu itu hingga sukses menggantung diatas pohon rambutan. “YOSUA! SIALAN!” jerit Steva penuh kekesalan.

***

            Keributan-keributan semacam itu sudah jadi santapan biasa bagi warga 11.IPA-2 SMA.Global Mandiri, entah apa maksud dan tujuan dari kedua pelaku keributan ini. 27 kepala selain Steva dan Yosua menyimpulkan kalau keduanya saling suka hanya saja mereka berdua terlalu gengsi untuk mengakuinya.“Kalo lo suka, ya jangan lo usilin mulu dodol” ujar Daniel pada Yosua saat jam pelajaran fisika, didepan ada Pak.Harwin yang sibuk menulis soal
“Apaan sih? Kan gue udah bilang kalo gue cuma demen aja ngeliat tuh bonsai ngamuk”
“Masa? Kan kalian udah kenal dari TK, berarti lo jodoh sama dia”        
“Hah jodoh? Sama kurcaci pendek itu? Iih amit-amit deh” desis Yosua pelan sambil menggetok-getokkan jidatnya dengan kepalan tangannya.        
“Ih pokoknya kalian tuh JODOH!” Daniel tiba-tiba berteriak kencang, PLETAK! Satu spidol hitam sukses mendarat diubun-ubun Daniel.        
“Daniel, sudah merasa pintar kamu? Cepat kerjakan soal dipapan tulis ini SEKARANG!” umpat Pak.Harwin, Daniel balik menoleh menatap wajah Yosua dengan tampang bete, Yosua membalas tatapan bete itu dengan satu senyum simpul sambil berucap “rasain lo”.

***

            Yosua terdiam menatap langit-langit kamarnya, perlahan petikan gitar terdengar. Yosua memainkan gitarnya sambil tidur-tiduran diatas sofa panjang. Tiba-tiba Yosua tersenyum, ia teringat akan senyum, tawa, serta amarah Steva, “Lucu juga” gumamnya dalam hati. Bohong kalau selama ini Yosua mengaku bahwa ia tidak menyukai Steva, perkenalan sejak 13 tahun yang lalu membuat Yosua tidak mampu menghapus bayangan Steva dari benaknya, hanya saja ia terlalu malu untuk menyatakannya, menurutnya Steva pasti akan menertawakan perasaannya itu apa lagi kalau ternyata Steva tidak pernah menyukainya. “Ah sial, damn! Kenapa jadi aneh gini sih perasaan gue?” batinnya sesak. Sementara itu ditempat lain...        
“Aku nggak mau!” jeritan Steva membahana keseantero rumah, Claire yang berada dilantai atas rumah Steva dengan cepat memasang kuping. Oke memang tidak sopan, tapi ia sangat penasaran “aku nggak mau sekolah diAmerika, titik!” jerit Steva lagi, Claire tertegun, Mama dan Papa Steva segera menenangkan putri tunggalnya itu.        
“Tapi sayang, masa depan kamu akan terjamin kalau kamu sekolah disana” ucap Mama        
“Masa depan apa? Toh aku juga udah sekolah disekolah internasional pilihan Mama dan Papa, kenapa aku harus pindah lagi? KENAPA?” teriak Steva disela-sela isak tangisnya.        
“Stevany dengarkan Papa, Amerika punya kualitas pendidikan yang sangat bagus, Papa yakin kamu akan menjadi individu yang luar biasa sepulangnya dari sana” ucap Papa sambil memeluknya, dengan cepat Steva menepis pelukan itu             “Jangan sentuh! Steva benci kalian berdua!” teriak Steva seraya berlari ke kamarnya, sesampainya dikamar Steva langsung memeluk Claire sambil terisak, pertahanan Clairepun jebol, air mata Claire mengalir deras tak tertahankan. Mereka berdua sama-sama tau, seperti apapun penolakan Steva, toh keputusan kedua orang tuanya tidak akan berubah. “Hei cantik jangan nangis lagi ya? Kita nikmatin aja sisa-sisa kebersamaan kita” ujar Claire disela-sela isak tangisnya, perlahan lantunan lagu favorit Steva terdengar dari bibir Claire ‘Saat Kau Pergi’.

***

            Yosua terdiam mematung menatap Steva didepan kelas, gadis itu baru saja mengumumkan kepergiannya ke Amerika besok lusa. Yosua merasa sesak tak tertahankan, apalagi ketika mata Steva yang basah itu melihat kearah dirinya, sungguh Stevapun tak rela pergi meninggalkan Claire, teman-temannya dan Yosua. Haahh Yosua, musuh bebuyutannya sekaligus cinta pertamanya. Steva tertegun sebentar, ia menatap lirih dua bola mata dihadapannya “nggak mungkin Yosua sedih, dia pasti seneng banget kalo gue pergi” bantinnya sesak.

***

            “Sumpah lo orang paling bego yang pernah gue kenal, kenapa sih lo nggak pernah mau jujur sama perasaan lo sendiri?” tanya Daniel dengan heran setengah mati        
“Gue,, gue cuma takut ditolak, kayanya dia benci banget sama gue”        
“Makanya lo juga sih bego diusilin mulu, lagian lo nggak akan pernah tau perasaan dia kalo lo aja nggak pernah berani untuk ungkapin” bentak Daniel “sekarang apa? Dia mau cabut ke Amerika, A-ME-RI-KA! Lo kata Amerika tinggal ngesot apa?”        
“Iya iya gue salah, terus mau gimana lagi Niel? Gue terlambat”        
“Gak ada kata terlambat!” Daniel segera menyeret Yosua masuk kedalam Vios Hitamnya dan segera melesat menuju bandara internasional Soekarno-Hatta.
Steva baru saja tiba dibandara, kepergiannya diiringi oleh kedua orang tuanya dan sahabat terbaiknya, Claire. Sedari tadi mereka tidak melepaskan rangkulannya, sesekali air mata mengalir dari balik kaca mata hitam keduanya.         “Sering-sering kabarin gue yah Stev?” ucap Claire, Steva mengangguk        
“Gue titip Yosua yah? Bilang ke dia kalo gue sayang banget sama dia”        
“Lo nggak pamit sama Yosua?” Steva menggeleng pelan “yaudah nanti gue bilangin ke dia” sambung Claire pelan. Kemudian mereka semua berjalan dengan pelan menuju gerbang keberangkatan tepat ketika Vios milik Daniel berhenti diseberang jalan.        
“STEVA” teriakan Yosua mengalahkan kebisingan dibandara “ELYTA STEVANYA” sontak Steva menoleh, ketika dilihatnya sosok Yosua Stevapun tak mampu menahan diri, rangkulannya degan Clairepun terlepas        
“YOSUA” teriak Steva lalu berlari menghampiri Yosua, air mata Steva kini mengalir dengan sangat deras        
“Stevany kembali kesini!” teriak Papanya tapi tak ia gubris. Tanpa ia sadari sebuah benda meluncur dengan cepat dijalanan yang lenggang itu, pengemudi sedan itu lengah, ia tak menyangka akan ada orang yang berlari melintasi jalan, lalu benturan itupun tak dapat terelakkan, suara logam beradu dengan daging dan tulang memecah keheningan, rem berdecit sia-sia, Steva tewas ditempat. Yosua berlari seperti orang kesetanan, namun sayang rupanya si empunya sedan ingin melarikan diri dan malah menghantam tubuh Yosua, Yosuapun terpental terhempas tepat disisi tubuh tak bernyawa Steva, Yosua juga tewas ditempat. Orang-orang panik berlarian menghampiri korban. Papa dan Mama Steva mengalami depresi berat, Claire meraung dalam pelukan Daniel yang juga menangis. Tapi siapapun yang ada disana dapat melihat wajah kedua mayat itu yang menyiratkan kebahagiaan dan tangan Yosua yang berada diatas tangan Steva seolah mereka sedang bergandengan erat.

***

Pemakaman itu dihadiri seluruh siswa siswi 11.IPA-2 SMA.Global Mandiri, siapa sangka mereka akan kehilangan dua sekaligus teman sekelas mereka yang memang paling sering bertengkar. Dari batu nisan yang terhiasi tanda salib terukir nama Elyta Stevanya dan Yosua Andrean, disamping makam yang bersisian terlihat dengan jelas kedua orang tua Steva dan Yosua yang tak henti-hentinya menangis. Sungguh pemandangan yang sangat menyayat hati. Dari depan makam keduanya, Claire masih tak kuasa membendung air matanya sebisa mungkin Daniel menenangkan pacarnya itu walau sebenarnya ia juga sangat bersedih. Perlahan sayup-sayup terdengar suara Claire menyanyikan lagu favorit Steva...

entah mengapa hatiku t’rus gelisah... apa yang kan terjadi? air mata pun jatuh tak tertahan melihatmu terdiam.. ternyata kau pergi tuk slamanya... tinggalkan diriku dan cintaku... apa kau melihat dan mendengar tangis kehilangan dariku? baru saja ku ingin kau tau perasaanku padamu... mungkin Tuhan tak izinkan sekarang kau dan aku bahagia... ternyata kau pergi tuk slamanya.. tinggalkan diriku dan cintaku..

            Dua sosok tak kasat mata itu tersenyum, dari kejauhan mereka menatap pemakaman itu dengan senyum bahagia, tangan mereka saling bergandengan erat seolah takkan bisa terpisahkan. Yosua mengecup kening Steva dengan lembut, Steva balik memeluk pinggang Yosua. Sosok tak kasat mata itu telah bahagia dialam lain, cinta yang terpendam selama 13 tahun didalam hati mereka kini sudah tumbuh dan memekar karena kiranya mautpun takkan mampu memisahkan cinta ini untuk selamanya        
“I love you Steva” ucap Yosua lembut, Steva tersenyum simpul        
“I love you too Yosua” jawab Steva. Perlahan dua sosok tak kasat mata itu menghilang ditelan awan tertutup dengan tangis kehilangan para pelayat dibumi sana.